Banyuwangi|Berbicara mengenai Proyek, baik itu Pengadaan Barang dan Jasa, Proyek Infrastruktur atau Bangunan yang dilakukan secara Tender/Lelang ataupun secara Penunjukan Langsung. Fenomena makelar proyek dalam tubuh pemerintahan daerah bukanlah cerita baru. Ini adalah borok lama yang terus dibiarkan menganga, bahkan diwariskan dari satu rezim ke rezim berikutnya, seolah menjadi “tradisi gelap” dalam pengelolaan keuangan negara di level daerah.
Di balik setiap tumpukan dokumen APBD yang tampak legal dan rapi, tersembunyi transaksi-transaksi yang tak tercatat secara formal, transaksi yang memperjualbelikan proyek demi kepentingan pribadi atau kelompok tertentu.
Makelar proyek bukan cuma persoalan moral. ini adalah pengkhianatan terhadap amanat rakyat.
Oknum legislatif yang punya kuasa mengatur anggaran, pejabat eksekutif yang mengatur jalannya proyek, pengusaha yang bermain di belakang layar, bahkan orang-orang dekat pemangku kekuasaan yang berlindung di balik relasi
“Mereka menjadikan proyek pemerintah sebagai “ladang panen” pribadi lewat sistem yang sarat komisi, jatah proyek, dan uang muka tender.
Akibatnya Sangat fatal dan sangat serius. Proyek-proyek pembangunan yang seharusnya mendorong kemajuan dan mengatasi kemiskinan justru berkualitas buruk, dan manfaatnya jauh dari yang dibutuhkan rakyat.
Lebih miris lagi, masyarakat dipaksa menelan kenyataan pahit bahwa praktik seperti itu sudah dianggap lumrah. Yang menolak bermain dalam sistem ini, biasanya kontraktor jujur, akan disingkirkan secara halus atau bahkan ditekan secara kasar.
Dalam hal ini membuktikan bahwa banyak proyek pemerintah sesungguhnya tidak dirancang untuk menjawab kebutuhan riil masyarakat, melainkan untuk memenuhi kepentingan segelintir elite elite politik maupun pelaku bisnis yang punya akses terhadap kekuasaan.
Proyek-proyek seperti ini biasanya lahir bukan dari perencanaan yang matang berbasis kebutuhan publik, tapi dari lobi-lobi dan transaksi di belakang meja. Maka persoalannya bukan hanya salah perencanaan, melainkan siapa yang “bermain” dalam proses pengadaan: siapa yang mengatur, siapa yang ditunjuk, dan siapa yang mendapat jatah.
Pemerintah daerah harus mulai berbenah secara serius. Sudah saatnya kepala daerah menunjukkan keberpihakan nyata kepada rakyat, bukan pada cukong proyek ataupun orang dekatnya.
Namun, tak cukup hanya memperbaiki sistem. Aparat penegak hukum juga harus berani menelusuri dan membongkar mata rantai praktik makelar ini hingga ke aktor utamanya. Jangan hanya kelas PPK, konsultan, dan pengawas yang dijadikan tumbal. Bongkar sampai ke atas, sampai ke aktor intelektualnya. Jangan sampai kita seperti kapal yang karam, tapi nakhodanya malah lolos dari jerat hukum.
Kalau ini terus dibiarkan, jangan heran jika publik semakin kehilangan kepercayaan terhadap institusi pemerintah. Dan kalau kepercayaan itu hancur, maka tak ada pembangunan yang benar-benar bisa berdiri di atas pondasi keadilan.
Penegak hukum yang tumpul ke atas, tajam ke bawah adalah cerminan rusaknya keadaban pemerintahan.
Penulis: H. Didik Budhiarto,S.H. Ketua LSM Formasi (30/7/2025)