“Kami menganggap Pasal 27A memiliki muatan pencemaran nama baik, ini rawan pasal karet. Kemudian di Pasal 28 ayat 1-2, ini rawan digunakan untuk memperkarakan pers. Apalagi ancaman hukumannya enam tahun, ini cukup berbahaya untuk pers,”
Surabaya, dailyindonesia.co – Revisi Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) Jilid II telah disahkan, menimbulkan perhatian terutama terkait sejumlah pasal yang sering disebut sebagai pasal karet. Meskipun tidak dihapus, pasal-pasal tersebut mengalami perubahan dan penambahan ketentuan, salah satunya terkait dengan penyebaran konten asusila.
Dalam aturan baru, penggunaan pasal ini sebagai pembelaan diri atau sebagai korban diizinkan, namun, sorotan tetap ada terutama terkait dengan pengecualian kasus penghinaan dan pencemaran nama baik. Perlindungan terhadap anak di ruang digital dan kewenangan Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) untuk penyelidikan kejahatan ekonomi juga menjadi bagian dari revisi tersebut.
Usman Kansong, Dirjen Informasi dan Komunikasi Publik Kemenkominfo, menjelaskan perubahan ini kepada media. Namun, Yadi Hendriana, anggota Dewan Pers, menyatakan kekecewaannya terhadap revisi ini. Menurutnya, pasal-pasal yang dianggap mengancam kemerdekaan pers masih ada, khususnya Pasal 27A dan Pasal 28 ayat 1 dan 2 yang berpotensi menjadi pasal karet.
“Kami menganggap Pasal 27A memiliki muatan pencemaran nama baik, ini rawan pasal karet. Kemudian di Pasal 28 ayat 1-2, ini rawan digunakan untuk memperkarakan pers. Apalagi ancaman hukumannya enam tahun, ini cukup berbahaya untuk pers,” ucap Yadi dalam program Wawasan Radio Suara Surabaya, Selasa (12/12/2023) pagi.
Dewan Pers menekankan bahwa pasal-pasal dalam UU ITE tidak boleh digunakan untuk menekan kebebasan pers. Mereka menegaskan bahwa masalah produk jurnalistik harus diselesaikan dengan UU No. 40 Tahun 1999 tentang pers, bukan dengan UU ITE. Dalam hal produk jurnalistik dilaporkan ke polisi, Dewan Pers menuntut agar penyelesaiannya melibatkan mereka.
Yadi Hendriana juga memperingatkan masyarakat untuk berhati-hati dalam membuat konten di media sosial, menekankan tanggung jawab dalam menyebarkan informasi. Dewan Pers mengingatkan bahwa kriminalisasi bisa terjadi, terutama dalam konten yang rawan dicari-cari untuk dijadikan dasar pelaporan.
Dewan Pers mendesak agar ada transparansi dan keterbukaan dalam revisi UU ITE yang melibatkan publik dan mendengar masukan dari stakeholder terdampak. Mereka menegaskan bahwa lembaga eksekutif dan yudikatif harus serius, memastikan publik memahami dan tersosialisasi dengan perubahan tersebut.
Ketika ada produk jurnalistik yang dilaporkan ke polisi, Dewan Pers menegaskan bahwa aparat tidak bisa menyelesaikannya di kepolisian, melainkan harus melibatkan Dewan Pers untuk memberikan rekomendasi atau mengirimkan ahli untuk menyampaikan legal statement.
Masyarakat diingatkan untuk berhati-hati dalam membuat konten di media sosial dan bertanggung jawab, karena hal ini dapat berdampak pada kriminalisasi. Dewan Pers menekankan perlunya waspada terhadap masalah yang dapat dicari dari konten tersebut. (len/red)