Pilkada Trenggalek dan Fenomena Lawan Bumbung Kosong, Ada Apa dengan Demokrasi Kita?

Gambar ilustrasi

OPINI

Oleh : Lendra

Trenggalek, dailyindonesia.co – Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) serentak yang akan digelar pada 27 November mendatang selalu menghadirkan kisah-kisah unik di setiap daerah. Tak terkecuali Pilkada di Kabupaten Trenggalek yang memunculkan beberapa fenomena menarik, bahkan sedikit ganjil, yang menimbulkan tanda tanya besar mengenai kondisi demokrasi lokal kita.

Fakta bahwa semua partai politik di DPRD Kabupaten Trenggalek mengusung petahana menjadi salah satu hal yang menyita perhatian. PDI-P, PKB, PKS, Golkar, Gerindra, Demokrat, Hanura, hingga PAN seolah satu suara dalam memilih Bupati Mochamad Nur Arifin dan Wakil Bupati Syah Muhamad Natanegara sebagai satu-satunya calon. Padahal, biasanya perhelatan Pilkada identik dengan adu gagasan dan persaingan sehat antarcalon. Mengapa partai-partai ini sepakat mengusung satu pasangan tanpa ada kandidat alternatif? Jawaban yang diberikan adalah elektabilitas petahana yang tinggi, namun di balik itu ada persoalan mendasar yang patut dicermati lebih dalam.

Kesulitan partai politik mencari calon lain adalah cermin bahwa demokrasi di tingkat lokal masih belum sepenuhnya matang. Kebergantungan pada satu sosok menunjukkan kelemahan dalam regenerasi kader di tubuh partai. Padahal, seharusnya partai-partai politik mampu mencetak calon pemimpin baru yang kompeten untuk bersaing, sehingga masyarakat memiliki pilihan yang lebih beragam. Apakah ini tanda lemahnya kaderisasi politik di Trenggalek, atau ada kepentingan lain yang bermain?

Fenomena lain yang tak kalah menarik adalah adanya lawan bumbung kosong. Ini pertama kalinya dalam sejarah Pilkada Trenggalek, masyarakat dihadapkan pada pilihan antara memilih petahana atau kotak kosong. Kejadian ini mengundang pertanyaan besar tentang kualitas kompetisi politik di Trenggalek. Apakah ini wujud kegagalan partai politik dalam menjalankan fungsinya? Di satu sisi, bumbung kosong memang disediakan sebagai antisipasi dalam sistem demokrasi, namun jika ini terjadi di Pilkada, itu bisa dianggap sebagai sinyal alarm bahwa dinamika politik daerah sedang tidak berjalan sehat.

Kehadiran lawan kotak kosong bukanlah fenomena yang ideal dalam sebuah pesta demokrasi. Di negara yang menganut sistem demokrasi, keterbukaan terhadap berbagai pilihan adalah hal yang sangat krusial. Ketika masyarakat hanya dihadapkan pada satu pasangan calon, maka esensi dari Pilkada sebagai ajang pemilihan pemimpin yang demokratis justru terancam hilang. Pemilih terjebak dalam situasi yang tidak memberikan alternatif yang benar-benar menggambarkan kebebasan politik.

Lalu, bagaimana dampaknya terhadap pemilih? Apakah masyarakat Trenggalek akan antusias datang ke TPS dengan hanya dua pilihan, petahana atau bumbung kosong? Fenomena ini bisa berujung pada apatisme publik, di mana masyarakat merasa suaranya tidak benar-benar berarti. Ketika persaingan politik tidak kompetitif, minat untuk berpartisipasi dalam pemilu juga bisa menurun, yang akhirnya berpotensi melemahkan legitimasi politik pemerintahan yang terpilih.

Selain itu, yang menarik dari Pilkada kali ini adalah fakta bahwa PKB dan PKS yang sebelumnya menjadi lawan, kini menjadi kawan dalam mengusung petahana. Perubahan aliansi semacam ini menjadi sorotan tersendiri. Selama ini, PKB dan PKS dikenal sebagai oposisi PDI-P dalam politik lokal, namun koalisi ini membuktikan bahwa politik memang cair. Apakah perubahan arah koalisi ini murni strategi politik ataukah ada kesepakatan pragmatis di balik layar?

Akhirnya, Pilkada Trenggalek 2024 ini tak hanya menawarkan pemilihan pemimpin, tapi juga refleksi bagi kita semua tentang demokrasi yang sesungguhnya. Kita perlu bertanya, apakah sistem politik kita sedang berjalan baik, atau justru ada masalah serius dalam kaderisasi dan persaingan sehat? Di tengah fenomena lawan bumbung kosong, kita perlu terus menjaga agar Pilkada tidak hanya menjadi formalitas, tetapi benar-benar menjadi ajang partisipasi demokratis yang berkualitas. Trenggalek, seperti daerah lain di Indonesia, layak memiliki lebih dari satu pilihan, dan masyarakat berhak mendapatkan pemimpin terbaik dari proses yang benar-benar demokratis.

Penulis : Lendra

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *